Masihkah Guru Dibutuhkan?

Judul provokatif artikel ini terinspirasi dan adaptasi dari sebuah buku berjudul: Why do I Need a Teacher if I’ve Got Google? Buku yang ditulis oleh Ian Gilbert (2014) ini berisikan kumpulan tulisan yang mengulas berbagai isu-isu dalam bidang pendidikan termasuk tantangan profesi guru di tengah kemajuan terutama di bidang teknologi informasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan di bidang teknologi informasi dewasa ini membuat arus persebaran informasi semakin deras. Kini, jarak bukan lagi menjadi hambatan dalam pertukaran informasi. Termasuk pula persebaran dan pertukaran pengetahuan yang kita ketahui sebagai informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman.

Pada jaman dahulu, ketika mesin cetak belum ditemukan, ketika pengetahuan tersimpan dalam buku-buku yang ditulis tangan, usaha menyebarkan pengetahuan terbatas pada penulisan ulang buku-buku dan penyampaian secara lisan. Pengetahuan dimiliki secara ekslusif oleh cerdik cendekia. Penguasaan pengetahuan pada waktu itu merupakan kekuatan dan penghancuran pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain bukti satu pihak lebih kuat dari pihak lainnya. Sejarah pernah mencatat ketika pasukan Mongol menghancurkan perpustakaan Aleksandria di Bagdad konon pada waktu itu sungai Tigris menjadi merah kehitaman karena darah yang tertumpah tercampur dengan tinta dari buku-buku.

Tugas guru pada waktu itu sebagai penyampai ilmu pengetahuan. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa guru sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Apa yang dijarkan oleh guru, kebanyakan dengan menyampaikan ceramah-ceramah, merupakan hal yang mutlak tak terbantahkan. Guru dalam posisi ini sangat dominan. Tugas murid menerima pelajaran dari guru sebagai sesuatu yang take for granted.

Sekarang jaman telah berubah. Inilah era seperti yang dikatakan Ian Gilbert, layaknya telur yang pecah dalam microwave. Semua ragam informasi bersebaran ke seluruh penjuru. Orang kini dapat berbicara apa saja tanpa ada hambatan. Semua ragam informasi kini dapat diakses dengan hanya berbekal device kecil segenggam ukuran tangan.

Pada era serba terhubung ini kita memiliki sebuah kewarganegaraan tanpa tapal batas yang bernama internet. Statistik tahun 2014 mencatat bahwa ada sebanyak 3,035,749,340 orang terhubung dengan internet. Jumlah tersebut merupakan 42,3 persen dari jumlah penduduk dunia. Dalam konteks persebaran ilmu pengetahuan, warga dunia baru ini yang lazim disebut netizen, memiliki apa yang dinamakan demokritisasi pengetahuan. Sebuah istilah yang dikenalkan dan dipromosikan Wikipedia, yang mendorong bahwa semua orang berhak menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya dan menerima ilmu pengetahuan. Dalam wikipedia ini semua orang dapat berbagi ilmu pengetahuan layaknya sebagai mitra. Pengetahuan bukan hanya dimonopoli oleh segelintir orang tetapi milik semua orang.

Peran Baru

Dalam konteks pembelajaran di sekolah mungkin tepat kiranya membaca kembali kritik-kritik pendidikan oleh Paulo Freire (1921-1997) yang mengkritik pengajaran yang menitikberatkan pada dominasi ilmu pengetahuan oleh guru. Pendidikan yang dikatakan oleh Friere sebagai “banking education”. Dalam sistem seperti ini siswa hanyalah dijejali berbagai ilmu pengetahuan oleh guru yang pada akhirnya diminta kembali untuk dikeluarkan pada saat yang diperlukan (ujian).

Pembelajaran menjadi sesuatu yang tidak menarik karena siswa berada dalam subordinasi sistem dimana dirinya “dipaksa” menerima pelajaran yang mungkin tidak diperlukannya. Pembelajaran dilakukan dalam satu arah dimana siswa harus menerima saja apa yang disampaikan oleh guru. Siswa takut akan nilai. Siswa takut tidak naik kelas atau takut tidak lulus. Urusan nilai, kenaikan kelas, dan kelulusan menjadi alat dominasi sekolah pada siswa.

Siswa belajar bukan karena siswa menyadari kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Siswa belajar untuk menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi bila ia tidak belajar seperti yang diharapkan sekolah. Pada kondisi ini dunia pendidikan kita menuai kedangkalan pemikiran, rendahnya motivasi, dan sedikitnya diskursus-dirkursus ilmiah. Hasil dari dunia pendidikan jatuh pada formalitas angka-angka. Siswa berlomba untuk mendapatkan angka yang besar sementara lupa bagaimana proses dirinya agar mampu menguasai pelajaran (ilmu pengetahuan).

Dalam sistem sekolah yang tampaknya masih seperti itu sementara dunia telah berubah, perubahan paradigma guru sangat signifikan. Guru harus bertransformasi tidak “hanya” sekadar menjadi penyampai pengetahuan. Guru harus mampu menjadikan para siswa mencintai ilmu pengetahuan. Mampu bagaimana menemukan ilmu pengetahuan dari sumber-sumbernya. Mampu membedakan pengetahuan yang baik dan yang buruk dalam dunia yang banjir informasi ini. Mampu bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut, mengaplikasikannya dalam kehidupan, bahkan mungkin memperbaharuinya.

Tugas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu membangun keterampilan komunikasi siswa, keingintahuannya, kemampuannya bekerja sama dalam sebuah tim, kepercayaan terhadap dirinya sendiri, sensivitas perasaannya terhadap apa yang benar dan salah, ketahanan malangnya (adversity), dan pemahaman perannya sebagai warga negara dan juga sebagai warga dunia. Bila itu semua dilakukan, apapun yang tidak bisa dilakukan komputer, guru tentu saja dibutuhkan sekalipun ada Google, Wikipedia, iPhone, iPad, dan yang lainnya.

Catatan: Paragraf terakhir tulisan ini tidak disertakan saat diterbitkan di Radar Banten, 25 Juni 2015.

Baca juga : Nissan X-Trail Mobil SUV Tangguh dan Sporty Terbaik

Tinggalkan komentar